Minggu, 04 Mei 2014

KEKURANGAN GURU YANG DISENGAJAKAN

"Anda mungkin tidak cukup sekolah tinggi (sekolah formal) seperti yang lain, tetapi belajarlah lewat pengalaman hidup, meskipun anda harus belajar dari alam yang menghidupkan anda sekalipun". Apalagi beruntungnya anda, ketika anda bertemu dengan seseorang yang dianggap layak untuk anda belajar banyak hal dari padanya; jadi teruslah belajar dari pengalaman".

               Mungkin ini jadi sebuah curahan hati saya, saat menantang situasi baru, dan menyandang status baru sebagai seorang guru bantu di Sekolah Dasar Negeri 15 Maraina - Seram Utara (Kabupaten Maluku Tengah). Meskipun awalnya ditugaskan menjadi calon pendeta muda (vikaris) di Gereja Protestan Maluku di jemaat GPM Maraina. Sejak pertama kali menginjakan kaki di daerah pegunungan Seram Utara, memang kenyataan di sini bertolak belakang dengan asumsi saya tentang pekembangan pembangunan pendidikan sejatinya; yang sampai dengan hari ini kenyataannya seperti mati suri. Pada hal Kabupaten Maluku Tengah adalah kabupaten yang tertua di provinsi Maluku, semenjak negara Indonesia ini merdeka pada tahun 1945.

               Hal ini seperti yang saya lihat di beberapa negeri atau dusun di daerah pegunungan Seram Utara, seperti di negeri Manusela, negeri Maraina, negeri Kabuhari, negeri Maneo, dusun Elemata, dll, hampir sama bentuk kasusnya. Bahwa pendidikan bagi sekolah dasar di daerah ini sangat memprihatinkan.  Gedung sekolah memang ada, dan telah dibangun atau di renovasi agar tampak lebih baik di pandang mata; tetapi tak ada guru untuk mengajar anak-anak murid disana. Jika dipakai ukuran rata-rata jumlah guru yang ada di sekolah dasar di daerah pegunungan di Seram Utara, hanya 2 orang guru. Itupun salah satu diantaranya pasti didaulat sebagai "guru ujian" (sudah saya sebut plesetan ini di posting lainnya).

              Saya merasakan sungguh ada semangat yang tinggi untuk menerima pelajaran dari anak-anak didik disana, ketika pertama kali saya mengajar mereka. Saya sudah mengajar di kelas 4 sampai kelas 6, dan mencoba mengeksplorasi model pembelajaran yang lebih kreatif namun santai, dengan melakukan proses dialog dalam proses belajar mengajar bersama mereka. Meskipun awalnya mereka merasa kaku, tetapi dalam beberapa waktu dengan menekankan sistem belajar yang SERSAN (serius tapi santai), mereka akhirnya bisa berdialog dengan baik tanpa memperlihatkan gaya yang tegang dan kaku.
             Adapun kekakuan mereka para anak murid dalam proses belajar, menimbulkan satu asumsi yang kuat bagi saya, mungkin mereka telah terpola dengan gaya belajar sebelumnya yang mengharuskan mereka untuk duduk tegak, kaku, dan tenang; dan terlihat seperti para serdadu yang lagi berada di meja pendidikan mereka. Ah sudahlah yang pasti saya agak keluar dari model pembelajaran yang sudah pernah mereka dapati selama ini, kenang dalam hati saya pada waktu itu.
             Saya memang beberapa kali mengamati cara Ibu kepala Sekolah yang awalnya bersama dengan 2 guru bantunya - yang lulusan SMA (perutusan dari program PNPM - Negeri Maraina) harus membagi waktu sefektif mungkin untuk melakukan rolling mengajar di 6 kelas. Artinya pasti ada yang tidak kebagian proses belajar mengajar dalam 1 hari jam bersekolah mereka, dimana kelas-kelas yang tidak kebagian pelajaran hanya diberikan tugas untuk dikerjakan sendiri sampai selesai (dengan model diharuskan duduk tenang dan kaku). Pada hal disamping kekurangan guru pada sekolah tersebut, ada seorang bapak guru PNS lainnya menjadi bagian dari staf guru di SDN 15 Maraina ini, namun entahlah, hampir sudah 3 bulan saya berada di negeri Maraina, bapak guru ini tidak ada di negeri Maraina untuk melakukan pekerjaannya sebagai guru disana. Kasian juga anak-anak murid di SDN 15 Maraina ini, "sudah jatuh, ketimpa tangga pula".
             Saya sempat berdiskusi dengan salah seorang bapak guru bantu di Maraina, ia mengatakan begini, "beta cuma berupaya agar beta punya adik-adik ini seng buta huruf; asal dorang tau baca, tau tulis, deng tau hitung saja bapa, agar beso-beso kalau jalan masuk ke mari, dorang (orang-orang luar yang ingin membodoh-bodohi orang pedalaman) seng biking bodo katong pung generasi lai". Mendengar hal ini, saya terharu sekali, dan memang betul ia pun menambahkan pula: "beta deng beta pung tamang guru bantu ni, katong dua balajar sesuai dengan katong dua pung tahu saja, karna katong dua cuma tamatan SMA saja. Saat su talalu susa lai, katong jaga bilang buat ana-ana murid, sampe disini jua, bapa guru deng ibu guru seng tahu lai, akang pelajaran ini pung lanjutan bagaimana?. Sangat mengguncang hati saya sekali, saat mendengar cita-cita luhur dari salah seorang anak negeri Maraina yang mau membantu saudara-saudarinya agar keluar dari kenyataan proses pendidikan yang sengaja diciptakan buruk oleh pemerintahnya sendiri seperti ini. Mohon maaf saya harus jujur mengatakan hal ini, bahwa terendus kuat ada proses pembiaran, dan masyarakat didaerah pegununugan Seram Utara, berada dalam sebuah program "pembodohan tersistem" bagi mereka selama ini, padahal mereka adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia juga di hari ini.  
            Ada kenyataan lain, saya pula mendapatkan informasi yang nyaris sama di negeri yang ada sekolah dasarnya, jika kepala sekolah di daerah pegunungan diharuskan melakukan kepungurusan Sekolah ditambah dengan kepengurusan keluarga, dan kepengurusan lainnya, dan harus memakan waktu 1 bulan, maka sekolah tersebut harus libur selama 1 bulan pula. Bisa dibayangkan kenyataan pendidikan seperti apa kayak begini? dan dengan sadar saya mengatakan bahwa negara Indonesia lewat pemerintah Kabupaten Maluku Tengah telah melakukan pelanggaran HAK ASASI MANUSIA, seperti yang dibuatnya sendiri pada  UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan Pasal 31 ayat (1) menyatakan : “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
            Untuk itu saya sebagai sesama manusia yang bebas, mencoba membantu anak-anak di SDN 15 Maraina, sebagai wujud solidaritas manusia-manusia yang mencintai kekebasan, atau kemerdekaan itu sendiri. Yaitu dengan cara saya turut melepaskan mereka dari sistem pembodohan yang ada, ingin membangun Sumber Daya Manusia mereka, ingin memajukan kesejahteraan hidup mereka yang meliputi banyak hal, lewat perkembangan Pendidikan ditingkat dasar mulai dari sekarang. Meskipun di sadari, mereka sudah tertinggal begitu jauh perkembangan pendidikan, tetapi belum ada kata terlambat untuk membangun banyak hal dari sekarang, dengan sedikit memberikan perubahan, lewat sejumlah pengalaman mereka saat pertama kali bertemu dengan saya. Entah itu lewat cara berpikir, cara berperilaku, cara bekerja, dan cara mengambil keputusan tentunya.
             Lewat opini ini ada harapan yang besar; "kelak jika negara ini merasa rakyatnya adalah asetnya yang sebenarnya, maka berikanlah kebutuhan mendasar untuk rakyatnya dengan penuh rasa tanggung jawab, seperti memberikan kasih sayang kepada manusia di usia dini dengan seimbang, maka kelak ia bertumbuh desawa, tidak akan membuatmu menangis atau sengsara". #QuotesJPattia


MARAINA 22 April 2014
Jimmy Pattiasina


Tidak ada komentar: